Manokwari- Rabu, (4/12) bertempat di Meeting Room Swiss-Belhotel Manokwari, Provinsi Papua Barat telah berlangsung Dialog Pendidikan yang diikuti oleh berbagai pihak diantaranya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Civitas akademika dari Universitas Papua (UNIPA), Ismail Sirfefa, Muga Romanus dan Eddy Wambrauw dari BP3OKP atau Badan Pengarah Papua, Dinas Pendidikan, Peneliti Program Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Muhammadiyah, Advent, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIAH), Papua Future Project, SD Negeri Brawijaya, SD YPK Nasaret, dan SD YPGII.
Dialog Multipihak Pendidikan dengan tema “Meningkatkan Partisipasi Anak Usia Sekolah OAP, Berbasis Data dan Fakta di Kabupaten Manokwari” ini dibuka oleh Dr. Sule Agus dari Universitas Papua (UNIPA). Dalam pandangannya, Dr. Sule menekankan pentingnya pendidikan wajib 12 tahun di Papua. Ia mengaitkan penginjilan di Papua dengan pemberdayaan pendidikan yang memberikan peluang akses pendidikan lebih baik bagi masyarakat Papua. Namun, ia juga mencatat bahwa banyak Orang Asli Papua (OAP) terutama di daerah terpencil masih tidak bersekolah karena fokus pemerintah lebih pada pembangunan di kota-kota besar. Berdasarkan data dari Kemendikbud dan Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 1 juta OAP tidak bersekolah dengan sebagian besar tinggal di daerah terpencil.
Dr. Yusuf Sawake peneliti Program Pendidikan, mengungkapkan pada penerapan Kartu Manokwari Pintar untuk meningkatkan partisipasi pendidikan di Papua Barat. Ia mencatat peningkatan angka partisipasi sekolah di Papua Barat yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan dengan Papua serta tingkat nasional. Namun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Barat masih berada di lima besar terendah di Indonesia dan juga Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang sulit dihitung karena kekurangan data. Selain itu, implementasi Kartu Manokwari Pintar belum merata, hanya diterima oleh siswa SD dan SMP, dan banyak orang yang belum tahu tentang kartu ini meskipun sudah berjalan selama 3–4 tahun. Masalah lain yang dihadapi adalah banyak ijazah tertahan karena siswa belum melunasi biaya sekolah, kondisi ekonomi rendah keluarga OAP yang membuat anak merasa tidak perlu sekolah untuk membantu ekonomi, serta anak-anak OAP yang merantau ke kota dan bekerja untuk mendapatkan uang. Di perguruan tinggi, mahasiswa juga terbebani dengan biaya tambahan di luar uang sekolah. Program Kartu Pintar seperti Kartu Biak Pintar dan Kartu Numbay Pintar yang dialokasikan sebesar 176 miliar rupiah per tahun diharapkan dapat membantu membiayai pendidikan anak-anak OAP. Dr. Yusuf menekankan pentingnya peran BAPPEDA dan pemerintah daerah untuk memastikan keberhasilan program ini dengan dukungan dari dinas pendidikan dan lembaga terkait.
Menurut Joyce dari Dinas Pendidikan, kendala utama dalam pendidikan di Papua adalah terbatasnya dana. Pemerintah pusat mengalokasikan dana berdasarkan data yang ada di Dapodik (Data Pokok Pendidikan), yang terkadang tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendiskusikan pendidikan sekolah bagi OAP (Orang Asli Papua) yang berbasis data dan fakta.
![](https://badanpengarahpapua.go.id/wp-content/uploads/2024/12/WhatsApp-Image-2024-12-06-at-07.31.42-1024x771.jpeg)
![](https://badanpengarahpapua.go.id/wp-content/uploads/2024/12/WhatsApp-Image-2024-12-06-at-07.31.42-1-1024x771.jpeg)
![](https://badanpengarahpapua.go.id/wp-content/uploads/2024/12/WhatsApp-Image-2024-12-06-at-07.31.39-1-1024x771.jpeg)